Pernyataan Sikap
Pengurus Komisariat
Kesatuan Aksi mahasiswa Muslim indonesia (KAMMI) Batam
Sumber daya alam yang melimpah semestinya menjadi berkah. Namun bagi Indonesia, sumber daya alam justru berubah menjadi kutukan. Walaupun melimpah dengan berbagai varian sumber energi seperti gas alam, panas bumi, batu bara, uranium, dan minyak, namun tak mampu menyelamatkan Indonesia dari krisis energi, utamanya bahan bakar. Ironisnya, rakyat harus menanggung beban tersebut karena pemerintah tak cakap mengelolah potensi yang ada.
Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan kebutuhan mendasar masyarakat, adalah satu bukti kongkrit model korporatokrasi. Pemerintah lepas tangan dan terarus oleh trend harga minyak dunia yang terus melonjak.
Sebagaimana biasanya, setiap kali kenaikan harga BBM, maka semua harga kebutuhan masyarakat ikut tergerek naik. Baik itu karena memang kebutuhan tersebut berkorelasi kausalitas dengan kenaikan biaya transportasi, ataupun hanya ulah nakal para spekulan yang memanfaatkan kesempatan meraup untung. Naiknya harga BBM akan berdampak ganda (multiple effect).
Dalam kalkulasi ekonomi, meminjam data Reforminer Institute, kenaikan BBM bisa menyebabkan tambahan inflasi hingga 2,14 persen. Inflasi sudah barang tentu menggangu performance ekonomi nasional. Daya beli masyarakat menurun sebagai akibat dari naiknya harga-harga barang. Permintaan (demand) pasti ikut terkoreksi sehingga income industry barang dan jasa terkait, mengalami penururnan. Efeknya, untuk efisiensi dan menghindari over stock, industri terpaksa menurunkan produksi mereka.
Artinya, hal ini menyebabkan berkurangnya kebutuhan dan permintaan tenaga kerja sehingga bisa berakibat pada pemutusan hubungan kerja (PKH) dan moratorium penerimaan tenaga kerja sehingga menimbulkan masalah sosial baru, pengangguran. Menurunnya income perusahaan juga berpengaruh pada penerimaan kas negara dari sektor pajak.
Selain itu, angka kemiskinan juga akan semakin bertambah seiring limitasi akses masyarakat pada faktor-faktor produksi yang menyebabkan produktifitas mereka menurun. Kelompok penduduk kategori hampir miskin yang berjumlah 27,8 juta jiwa akan terseret ke jurang kemiskinan. Selama ini kelompok penduduk hampir miskin bertahan dari jerat kemiskinan dengan mengandalkan pekerjaan pada sektor non formal. Padahal, kenaikan harga BBM justru akan memukul sektor non formal ini.
Sementara kompensasi dalam skema bantuan langsung tunai, tidak efektif untuk meringankan beban ekonomi rakyat. BLT sifatnya jangka pendek sehingga tak mungkin terus menerus diterapkan. Pemberian kompensasi bahkan justru menjadi sketsa paradoks kebijakan kenaikan BBM yang tujuan awalnya untuk menyelamatkan anggaran dari pembengkakan.
Dari hasil simulasi Soceity Reserach and Humanity Development (SERUM) Institute Jika kompensasi kenaikan BBM diberikan kepada 29,89 juta jiwa penduduk miskin dan 27,8 juta jiwa penduduk hampir miskin masing-masing sebesar Rp. 150.000,00, per bulan sebagaiamana dikatakan Menteri ESDM, maka negara harus merogoh aggaran sebesar Rp. 8,65 triliun setiap bulan atau sebesar Rp. 103,8 triliun setiap tahun.
Artinya, lebih boros memberikan kompensasi yang juga belum tentu cukup untuk biaya hidup satu orang setiap bulan, ketimbang mempertahakan harga BBM pada harga saat ini. Tidak efektifnya kebijakan kompensasi juga disebabkan oleh potensi korupsi yang membayangi. Bahkan, kompensasi tersebut juga hanya menjadi alat pencitraan politik penguasa jelang pemilu 2014.
Selain itu, pengalaman serupa di masa lalu juga mengajari kita. Misalnya pada tahun 2005 dan 2008, dimana kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM menimbulkan gejolak besar baik pada aras ekonomi dan politik namun ternyata kebijakan tersebut toh tak menyelesaikan akar persoalan.
Ketika kali ini pola serupa masih ditempuh, maka tak menutup kemungkinan di waktu-waktu mendatang kita akan kembali bergelut dengan masalah serupa karena kebijakan yang diambil tidak solutif dan tidak menyentuh akar masalah. Kebijakan menaikkan harga dan kompensasi sifatnya jangka pendek (short term policy).
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya membaca persoalan BBM ini secara syumuliyah (komprehensif) dan menawarkan solusi jangka pendek (short term policy) serta jangka panjang (long term policy).
Berdasarkan pemikiran tersebut dan hasil rumusan dari Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, maka Pengurus Komisariat KAMMI Batam turut menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Daripada pemerintah mengajukan APBN-P menaikkan harga BBM pemerintah sebaiknya mengajukan APBN-P penghematan belanja barang dan perjalanan dinas dan kegiatan lain cenderung kepada pemborosan anggaran.
2. Pemerintah lebih tegas lagi memberantas kasus-kasus korupsi yang secara nyata merugikan negara. (kerugian Negara di tahun 2011 yang diselamatkan KPK mencapai Rp. 152,957 Trilliun)
3. Pemerintah mengeluarkan regulasi yang tegas agar kendaraan mobil pribadi dari kalangan menengah atas menggunakan BBM non Subsidi.
4. Pemerintah dengan politik luar negeri bebas aktifnya harus lebih berani mendinginkan ketegangan perseteruan di timur tengah.
5. Pemerintah mengoptimalkan riset pengembangan bahan bakar non minyak yang saat ini tidak sampai 1%. Banyak alternatif sumber energi, seperti panas bumi (geothermal), gas alam, bioetanol, biodiesel, panel surya, dan sebagainya.
6. Pemerintah menyiapkan sarana transportasi umum (massal) yamg cepat, aman, nyaman, murah dan memiliki rute yang luas untuk mengurangi konsumsi BBM kendaraan roda dua yang banyak digunakan masyarakat ekonomi menengah bawah beraktifitas sehari-hari.
7. Pengembangan kualitas orang-orang lulusan Teknik pertambangan dan perminyakan, agar mampu BERDIKARI mengelola minyak, dan tidak diintervensi pihak asing sebagai apapun dan dalam bidang apapun, khususnya alat-alatnya.
Jangan jadikan Rakyat Korban ketidaktegasan, dan ketidakmampuan pemerintah mengelola keuangan serta sumber daya alam Indonesia.