Oleh : Taufik B. Nugraha
Staff Kebijakan Publik Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat Batam
Minggu lalu ada kejadian menarik yang terjadi di kampus saya. Dalam 2 hari ada 4 orang mengalami keadaan serupa, kesurupan. Fenomena kesurupan yang terjadi 2 hari berturut-turut ini merupakan yang pertama kalinya terjadi sejak saya kuliah di kampus itu.
Kesurupan sendiri adalah sebuah fenomena dimana seseorang berada di luar kendali dirinya sendiri atau bisa dikatakan kehilangan kesadaran diri. Fenomena ini biasa terjadi di negara dunia ketiga. Fenomena ini juga banyak ditemukan di negara india yang memiliki kultur budaya yang mirip dengan kita.
Kepercayaan tradisional yang diwariskan turun temurun kepada kita selama ini oleh orangtua kita adalah adanya gangguan roh-roh halus yang mengambil tubuh manusia untuk beberapa waktu sehingga membuat korban tidak sadar apa yang dia perbuat.
Tapi menurut DR. Dadang Hawari kesurupan adalah reaksi kejiwaan yang dinamakan reaksi desosiasi. Reaksi yang mengakibatkan hilangnya kemampuan seseorang untuk menyadari realitas di sekitarnya yang disebabkan adanya tekanan fisik maupun mental. Senada dengan itu Prof. Dr. dr. H. Soewadi, MPH, Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada yakin kesurup¬an bukan disebabkan makhluk halus. Soewadi memandang tekanan sosial sebagai biang kesurupan. Banjir, tsunami, gizi buruk, ketidakadilan, upah kecil, santun¬an tunai langsung, kesenjangan yang sangat mencolok.
Sebagai seorang muslim dan seorang intelektual saya tidak menafikan bahwa Allah SWT menciptakan makhluk lain selain kita. Namun saya lebih memilih penjelasan secara ilmiah untuk fenomena ini. Saya percaya tekanan sosial yang melanda negeri inilah penyebab utama maraknya terjadi kesurupan baik perseorangan maupun massal.
Karena tekanan sosial yang berlebihan dan sudah menumpuk, maka kesurupan menjadi sebuah kesempatan untuk mengekspresikan segala kekesalan, beban dan himpitan hidup yang terpendam. Biasanya dilakukan melalui jeritan, gerakan menari dan tindakan berbahaya seperti mencekik diri atau mungkin lompat dari ketinggian. Saat kesurupan korban melakukan sesuatu secara spontan, bebas dan tanpa beban. Setelah kesurupan biasanya fisik para korban akan merasa lelah tapi secara mental mereka mendapatkan kepuasan yang luar biasa.
Kesadaran diri
Bicara tentang hilangnya kesadaran diri, negeri ini banyak sekali orang yang kehilangan kesadaran dirinya. Bukan disebabkan karena kesurupan, tapi lebih kepada pragmatisme dan apatis terhadap keadaan sekitar yang sudah sedemikian rupa.
Hingga akhirnya orang-orang golongan ini, akan bisa dengan seenaknya membuang sampah sembarangan dari dalam mobilnya, merokok di tempat umum tanpa memperdulikan keadaan orang di sekitarnya yang terganggu dan tindakan seenaknya yang lain.
Akibat dari kurangnya kesadaran diri ini yaitu munculnya orang-orang yang sulit menempati batas kewajaran. Kalau dia ingin populer maka ia harus populer sekali, kalau dia ingin korupsi maka dia akan korupsi banyak sekali, kalau kaya dia akan jadi kaya sekali hingga jadi orang yang tak peduli dan kalau miskin dia akan jadi miskin sekali. Jarang ada orang yang ingin menempati batas kewajarannya.
Pameran hilangnya kesadaran diri ini semakin terlihat dengan makin meningkatnya jumlah golongan putih (Golput) yang semakin banyak, baik di tiap pilkada maupun pemilu yang diselenggarakan. Orang-orang ini dengan berbagai macam alasan tidak mau memilih dan berpartisipasi dalam pesta rakyat cerminan perwujudan demokrasi di Indonesia.
Sangat mengejutkan ketika membaca tulisan Pimpinan Redaksi koran ini, bahwa ada sekumpulan orang yang ingin menerbitkan buku berisikan tentang berbagai macam alasan kenapa meereka memilih golput.
Lucu melihat betapa banyaknya orang-orang di negeri ini yang begitu pintar mengkritik, tapi malas untuk bertindak. Terjun langsung dan benar-benar memberikan bukti nyata untuk melakukan perubahan. Melihat begitu banyaknya orang-orang yang tak beda keadaannya dengan keadaan saat kesurupan.
Masih akan sedikit terdengar heroik kalau alasan mereka untuk golput adalah karena kecewa dengan pemerintah, partai serta orang-orang yang selama ini hanya memberikan janji-janji tapi tak pernah terbukti. Namun yang kemudian menjadi ironis adalah ketika alasan mereka tidak memilih hanyalah karena malas melangkahkan kakinya menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS), yang sebenarnya hanya berjarak tidak begitu jauh dari rumahnya.
Hingga akhirnya para panitia di TPS pun sibuk harus memberikan hadiah, menghias TPS bahkan mengenakan pakaian adat daerah setempat untuk menarik warga agar mau mendatangi TPS memberikan suaranya.
Tak ubahnya dengan penyebab kesurupan yang lebih disebabkan oleh tekanan sosial. Hilangnya kesadaran diri untuk memberikan suara mereka dalam pemilu juga disebabkan karena tekanan politik yang dibuat oleh para kontestan pemilu. Selama ini banyak partai yang hanya peduli saat masa kampanye tiba, mendekati masyarakat agar dipilih saat pemilihan nanti.
Harus lebih diwaspadai dan menjadi PR pula oleh para pemimpin dan partai-partai. Bahwa mereka harus bekerja ekstra keras mulai saat ini untuk mengurangi golput. Karena mulai dari pemilihan kepala daerah, wakil rakyat hingga presiden akan dilakukan secara langsung, yang tentu saja ini menambah kesibukan rakyat. Rakyat yang sudah dibebani berbagai derita kini ditambah kesibukannya dengan harus memilih langsung pemimpinnya.
Golput Bukan solusi
Keadaan negara ini sekarang sedang sangat sakit. Mulai dari rakyat kecil hingga tingkat elit semuanya sedang mengalami krisis kepercayaan. Masyarakat kita saat ini sedang mengidap penyakit saling tidak percaya, saling curiga terhadap sesama dan saling menjegal.
Rasa percaya mulai hilang dari tiap-tiap orang di negeri ini. Bangsa yang tidak memiliki rasa percaya tidak akan bisa membangun dan bangkit karena tidak ada kekuatan yang saling menghubungkan dan menyangga. Keaadaan yang terjadi kemudian adalah saling menjarah hak orang lain dan mementingkan kepentingan dirinya sendiri diatas kepentingan bangsa.
Sebuah penyakit yang menyebabkan tingginya angka golput dalam setiap pilkada atau pemilu. Penyakit yang menyebabkan bangsa ini tak kunjung bangkit dari keterpurukannya.
Kalau menggunakan skala prioritas tentu apapun alasannya kita wajib untuk memilih. Analoginya seperti ini, kalau ada sebuah benda yang sangat kita butuhkan tapi persediaan barangnya memang tidak ada yang baik lagi maka mau tidak mau kita harus memilih yang kerusakannya paling kecil agar setidaknya kita masih bisa sedikit optimal dalam penggunaannya nanti, syukur-syukur kalau bisa diperbaiki kerusakannya yang kecil itu.
Oleh karena itu, tak bijak rasanya kalau hanya karena emosi sesaat kita memutuskan untuk tidak memilih dalam pemilu. Karena esensi golput adalah sebuah keberhasilan yang berujung pada kegagalan. Sama seperti kesurupan, setelah mengekspresikan seluruh tekanan yang dialami kita akan merasa sangat puas. Tapi hanya kepuasan sesaat yang kita rasakan karena tekanan dan beban yang kita miliki tidak akan selesai begitu saja, esoknya ia akan tetap ada dan terus membebani kita.
Bayangkan kalau gara-gara kita tidak memberikan suara maka akan berakibat pada lambatnya proses kebangkitan negeri ini, karena pemimpin serta wakil rakyatnya diisi oleh orang-orang yang hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri. Negara ini harus menunggu 5, 10 atau entah berapa tahun lagi untuk bisa bangkit karena rakyatnya sudah kehilangan kesadaran untuk membangun negeri ini, kehilangan kepeduliannya sebagai pemegang saham dari negeri besar dan indah ini.
***